by:REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA
Rabu, 29 September 2010
Pendidikan Indonesia tak Mendorong Siswa Sesuai Potensi
Kamis, 26 Agustus 2010
"ALLOH MENYEMBUNYIKAN 6 PERKARA DLM 6 PERKARA "
Minggu, 08 Agustus 2010
Segerakanlah
Indonesia Mengajar - Surat untuk Anak-anak Indonesia
Pidato Steve Job di Acara Wisuda Stanford University: “Stay Hungry. Stay Foolish”
Rabu, 10 Maret 2010
Wahai Pemuda, Jangan Layu Sebelum Berbuah!
Sering di usia produktif, dorongan kuat untuk beramal saleh berbanding lurus dengan dorongan melanggar
SEMUA manusia di dunia ini secara fisik tunduk kepada fenomena penciptaan-Nya. Ia akan meniti fase shobi (bayi), thifl (balita), murahiq (pemuda), kuhulah (dewasa), dan syaikh (tua). Makhluk-makhluk-Nya itu selalu bertasbih kepada Allah Swt dengan bahasanya sendiri. Tetapi, usia paling menentukan arah kehidupan seseorang adalah fase murahaqa (puber) dan kuhulah (produktif) antara usia 15-35 tahun.
Ada sebuah ungkapan ahli hikmah: “Siapa yang tumbuh, berkembang pada masa mudanya di atas, akhlak, orientasi (ittijah), kepribadian (syakhshiyyah), karakter, bakat (syakilah) khusus, maka rambutnya akan memutih (al masyiibu) dalam keadaan ia memiliki tradisi (daabu), akhlak seperti itu.”
Ahli sastra Arab dahulu pernah menjelaskan impian orang tua yang ingin kembali pada masa muda. Tetapi, itu suatu kemustahilan.
اَلاَ لَيْتَ الشَّباَب يَعْود يَوماً . سأُخْبِره بِماَ فَعَلَ الْمَشيْب
“Alangkah indahnya jika masa muda kembali lagi hari ini. Aku akan memberitahukan kepada khalayak (ramai) tentang apa yang dilakukan oleh orang yang sudah pikun dan beruban”.
Marilah kita hitung usia produktif dalam logika kehidupan manusia.
Umumnya umat Rasulullah Saw berusia antara 60-70 tahun (HR. Ahmad). Seumpama kita ditakdirkan berumur 63 tahun seperti uswah, qudwah (panutan) kita, 13 tahun pertama tentu tidak masuk perhitungan, berarti tidak bisa kita nilai. Kita belum baligh. Jadi, usia kita yang bisa dihitung 47 tahun.
Jika dalam sehari tidur belasan jam. Yang tersisa setiap hari 2/3. Tinggallah seputar 16 jam. Dalam aktivitas tidur tersebut tidak ada catatan amal. Untuk ukuran ini saja, dari 47 tahun, yang tertinggal 2/3-nya.
Lantas, sebagian besar ke mana? Orang itu produktif pada usia puber atau pada usia tua? Pertanyaan itu perlu kita jawab secara serius. Supaya aktivitas kita bisa dihisab oleh Allah Swt.
Semakin sering kita berhasil menghadapi godaan pada usia muda, seperti itulah ending kita pada masa tua (syaikhukhah). Sebaliknya, semakin sering kita kalah dalam mengantisipasi ujian, seperti itulah akhir kehidupan kita. Pertarungan yang paling berat dan keras adalah pada usia muda. Kalau diibaratkan seperti matahari, maka usia muda adalah ketika sinar matahari berada persis di tengah-tengah kita. Betapa teriknya pada siang bolong itu.
Itulah sebabnya Allah Swt memberikan penghargaan kepada pemuda yang tumbuh dalam keadaan beribadah kepada Allah Swt (syaabun nasya-a fi ‘ibadatillah). Bahkan Allah Swt memberikan perlindungan di padang Mahsyar, ketika tiada naungan kecuali naungan-Nya. Karena pada usia produktif tersebut dorongan kuat untuk beramal saleh berbanding lurus dengan dorongan melanggar. Maka, mengelola masa muda agar tunduk kepada karakter keagamaan merupakan perjuangan yang berliku, licin, dan mendaki. Hanya pemuda yang mendapat rahmat dari-Nya yang berhasil melewati godaan.
أَللَّهُمَّ اجْعَلْ خَيْرَ عُمْرِيْ أَخِرَهُ وَ خَيْرَ عَمَلِيْ خَوَاتِيْمَهُ وَ خَيْرَ أَيَّامِيْ يَوْمَ أَلْقاَكَ فِيْهِ
“Ya Allah, jadikanlah usiaku yang paling baik adalah pada penghujungnya, dan amalku yang terbaik adalah pungkasannya, dan hari-hariku yang terbaik adalah hari-hari saya bertemu dengan-MU.” [al Hadits].
Secara sunnatullah keberhasilan masa tua kita ditentukan oleh perjuangan yang tak kenal menyerah di masa muda. Keberhasilan mustahil diperoleh dengan gratis (majjanan), tanpa melewati proses ujian. Ibarat anak sekolah, untuk naik kelas harus mengikuti ujian. Jika kita kurang terampil mengelola masa muda dengan menggali potensi thalabul ‘ilmi (ijtihad), taqarrub ilallah (mujahadah), jihad fii sabilillah (jihad), secara maksimal kelak akan kita pertanggungjawabkan di Mahkamah Ilahi (‘an syabaabihi fiimaa ablaahu).
Ali bin Abi Thalib mengatakan:
مَنْ ساَءَ خُلُقُهُ عَذَّبَ نَفْسَهُ
“Barangsiapa jelek akhlaknya (ketika pemuda), ia akan tersiksa ketika tua.”
Mengikuti Siklus Ibadah
Mengapa kita perlu shalat lima waktu sehari semalam. Kita ibarat membuat kolam renang di depan rumah, setiap kali azan berkumandang kita segera membersihkan lumpur yang menempel dalam diri kita. Sehingga tidak tersisa sisi gelap dalam pikiran dan hati kita, demikianlah sabda Rasulullah Saw.
demikian sabda Nabi.
Allah Swt membuat perencanaan ibadah, agar kita selalu terjaga. Ibadah yaumiyyah, harian (shalat lima waktu), usbuiyyah, mingguan (shalat Jum’at, puasa Senin Kamis, puasa tiga hari dalam sebulan), syahriyyah, bulanan (puasa Ramadan), sanawiyyah, tahunan (shalat idul fithr dan idul qurban), marrotan fil umr, sekali seumur hidup (ibadah haji ke Baitullah).
Maka, kita perlu membuat standarisasi dalam beribadah. Ada empat kegiatan ubudiyah yang perlu kita lakukan dengan istiqomah (konsisten) dan mudawamah wal istimror (secara berkesinambungan).
Pertama : Shalat fardhu secara berjamaah di masjid
Kedua : Shalat sunnah rawatib ba’diyah dan qabliyah
Ketiga : Membaca al Quran satu juz sehari
Keempat : Ditambah dengan ibadah bulanan
Muhasabah : Seminggu sekali
Ibadah harian yang perlu dipertahankan untuk menjaga stamina ritme spiritual. Ibadah wajib kita lakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt (taqarrub). Ibadah sunnah kita lakukan, untuk membangun kecintaan secara timbal balik antara kita dengan Allah Swt. Jika kita sudah dicintai, aktifitas kita merupakan jelmaan dari kehendak-kehendak-Nya.
Supaya kita dekat dengan diri kita sendiri, kita perlu muhasabah usbuiyyah (intropeksi mingguan). Hati kita mengalami gerakan yang tidak berhenti. Dan itu harus selalu dikontrol. Jika kita sudah mencapai kenaikan grafik amal, dan kekurangan kita bisa kita hitung. Berarti kita dalam posisi ideal. Terjaga dari dosa, hanya Rasulullah Saw.
Bangkit Dari Keterpurukan
Jika kita terjatuh melakukan dosa, kita segera bangkit. Setiap langkah menuju dosa harus kita persempit ruangnya. Karena, dosa kecil yang kita remehkan, akan mengajak kepada dosa-dosa kecil berikutnya. Dosa itu beranak pinak, berkembang biak.
Langkah-langkah untuk bangkit, sebagai berikut:
Kedua, beramal. Setiap kali melakukan kejahatan, susullah dengan amal saleh. (ittaqillah haitsumaa kunta wa atbi’issayyiata al hasanata tamhuhaa). Kebaikan itu bisa menghapus dosa. Jika kita senang melakukan satu kebaikan, akan mengajak kepada kebaikan berikutnya. Misalnya, jika kita suka ke masjid, maka dengan sendirinya kita akan termotivasi untuk melakukan berbagai amal saleh di situ. Sholat fardhu, sholat sunnah, membaca Al-Quran, zikir dll.
Rasulullah Saw bersabda : “Jika engkau melihat seorang laki-laki terbiasa ke masjid, saksikanlah sesungguhnya ia seorang beriman.” [al Hadits].
Demikian pula jika kita senang melangkahkan kaki menuju ke tempat maksiat, maka akan mengerakkan untuk berbuat dosa berikutnya.
Jika kita sedang bersemangat dalam beribadah, lakukanlah sebanyak mungkin yang Anda mampu. Jika grafik ibadah menurun, minimal pertahankan yang wajib. Hati kita elastis, fluktuatif. Kita memiliki saat maju dan saat mundur. Dengan cara di atas kita bisa mengelola naik turunnya hati kita dengan baik.
Terakhir: Berdoa kepada Allah Saw, semoga kita tetap teguh dalam agama-Nya. Ya muqollibal qulub tsabbit qolbii ‘alaa diinik (Wahai Yang Membolak Balikkan hati, tetapkanlah hatiku diatas agama-MU).
Penutup, wahai para pemuda, ingatlah falsafah pohon pisang. “Janganlah mati sebelum berbuah.”
Sabtu, 20 Februari 2010
Zina Mata
Mata yang merupakan anugerah Allah Azza Wa Jalla, bisa mendatangkan kemuliaan, tetapi juga bisa mendatangkan laknat yang membinasakan. Mata yang selalu melihat fenomena kehidupan alam dan seisinya, dan kemudian menimbulkan rasa syukur kepada sang Pencipta, selanjutnya akan mendatangkan kemuliaan dan kebahagiaan di sisi-Nya. Sebaliknya, mata yang merupakan anugerah yang paling berharga itu, bisa mendatangkan laknat yang membinasakan bagi manusia, bila ia menggunakan matanya untuk berbuat khianat terhadap Rabbnya.
Di dalam Islam ada jenis maksiat yang disebut dengan ‘zina mata’ (lahadhat). Lahadhat itu, pandangan kepada hal-hal, yang menuju kemaksiatan. Lahadhat bukan hanya sekadar memandang, tetapi diikuti dengan pandangan selanjutnya. Pandangan mata adalah sumber itijah (orientasi) kemuliaan, juga sekaligus duta nafsu syahwat. Seseorang yang menjaga pandangan berarti ia menjaga kemaluan. Barangsiapa yang mengumbar pandangannya, maka manusia itu akan masuk kepada hal-hal yang membinasakannya.
Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam, pernah menasihati Ali :
“Jangan kamu ikuti pandangan pertamamu dengan pandangan kedua dan selanjutnya. Milik kamu adalah pandangan yang pertama, tapi yang kedua bukan”.
Dalam musnad Ahmad, disebutkan, Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam, bersabda :
“Pandangan adalah panah beracun dari panah-pandah Iblis. Barangsiapa yang menundukkan pandangannya dari keelokkan wanita yang cantik karena Allah, maka Allah akan mewariskan dalam hatinya manisnya iman sampai hari kiamat”.
Sarah hadist itu, tak lain, seperti di jelaskan oleh Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam:
“Tundukkan pandangan kalian dan jagalah kemaluan kalian”. Juga Sabda Beliau : “Jauhilah oleh kalian duduk di pinggir jalan”. Para Shahabat berkata : “Pinggir jalan itu adalah tempat duduk kami, kami tidak bisa meninggalkan”. Beliau bersabda : “Jika kalian harus duduk di jalan, maka berikanlah haknya”. Mereka berkata : “Menundukkan pandangan, dan menahan diri untuk tak menganggu, baik dengan perkataan atau perbuatan, dan menjawab salam”.
Melihat adalah sumber dari segala bencana yang menimpa diri manusia. Melihat melahirkan lamunan atau khayalan, dan khayalan melahirkan pemikiran, pikiran melahirkan syahwat, dan syahwat melahirkan kemauan, kemauan itu lantas menguat, kemudian menjadi tekat kuat dan terjadi apa yang selagi tidak ada yang menghalanginya. Dalam hal ini ada hikmah yang mengatakan :
“Menahan pandangan lebih ringan dari pada bersabar atas kesakitan (siksa) setelah itu”.
Seorang penyair Arab bertutur,
"Semua bencana itu bersumber dari pandangan,
Seperti api besar itu bersumber dari percikan bunga api,
Betapa banyak pandangan yang menancap dalam hati seseorang,
Seperti panah yang terlepas dari busurnya,
Berasal dari sumber matalah semua marabahaya,
Mudah beban melakukannya, dilihat pun tak berbahaya,
Tapi, jangan ucapkan selamat datang kepada kesenangan sesaat yang kembali dengan membawa bencana".
Bahaya memandang yang haram adalah timbulnya penderitaan dalam diri seseorang. Karena tak mampu menahan gejolak jiwanya yang diterpa nafsu. Akibat selanjutnya adalah seorang hamba akan melihat sesuatu yang tidak akan tahan dilihatnya. Ini adalah sesuatu yang menyiksa, yang paling pedih, jangankan melihat semuanya, melihat sebagian saja tak akan mampu menahan gejolak jiwanya.
Seorang penyair berkata,
"Kapan saja engkau melemparkan pandanganmu dari hatimu,
Suatu hari engkau akan merasakan penderitaan, karena melihat akibat-akibatnya,
Kamu akan melihat siksa yang kamu tidak mampu melihat keseluruhannya,
Dan kamu tiak akan bersabar melihat sebagiannya saja".
Penyair lainnya berkata,
"Wahai manusia yang melihat yang haram, tidakkah pandangannya dilepaskan,
Sehingga ia jatuh mati menjadi korban".
Pandangan seseorang adalah panah yang berbisa. Namun, yang sangat mengherankan, belum sampai panah itu mengenai apa yang ia lihat, panah itu telah mengenai hati orang yang melihat.
Seorang penyair berkata,
"Wahai orang yang melemparkan panah pandangan dengan serius, kamu sudah terbunuh, karena yang kau panah, padahal panahmu tidak mengenai sasarannya".
Tentu, yang lebih mengherankan lagi, bahwa dengan sekali pandangan, hati akan terluka dan akan menimbulkan luka demi luka lagi dalam hati. Sakit itu tidak akan hilang selamanya, dan ada keinginan mengulang kembali pandangannya. Ini pesan yang disampaikan dalam bait-bait syair ini,
"Terus menerus kamu melihat dan melihat,
Setiap yang cantik-cantik,
Kamu mengira bahwa itu adalah obat bagi lukamu,
Padahal sebenarnya itu melukai luka yang sudah ada".
Sebuah hikmah yang mengatakan, “Sesungguhnya menahan pandangan-pandangan kepada yang haram lebih ringan daripada menahan penderitaan yang akan ditimbulkan terus menerus”.
Jagalah matamu, dan jangan engkau kotori setitik debu dosa, yang akan mengantarkan dirimu kepada kebinasaan, karena pengkhianatan kepada Allah Azza Wa Jalla. Matamu adalah anugerah agar mengenal-Nya, dan kemudian beribadah kepada-Nya, menggapai ridho-Nya. Jangan dengan matamu itu, engkau campakkan dirimu ke dalam nafsu durhaka, yang membinasakan.
Betapa banyak manusia yang mulia, berakhir dengan nestapa dan hina, karena tidak dapat mengedalikan matanya. Matanya tidak dapat lagi menyebabkan seseorang menjadi bersyukur atas anugerah nikmat, yang tak terbatas, yang tak terhingga, bagaikan sinar matahari, yang selalu menerangi alam kehidupannya.
Tetapi, karena matanya yang sudah penuh dengan hamparan nafsu itu, hidup menjadi penuh dengan gulita,yang mengarahkan seluruh kehidupannya hanya diisi dengan segala pengkhianatan terhadap Rabbnya. Wallahu’alam.
by: Mshd
Selasa, 12 Januari 2010
Let's struggle to achive a DREAMS ........
Rasulullah shalallahu’alaihiwasallam berdiri shalat hingga kakinya bengkak. Dimasukkannya batu di sela perutnya untuk menahan lapar. Berdarah kakinya oleh lemparan batu. Terjun langsung ke berbagai peperangan. Abu Bakar namanya diseru di pintu-pintu surga, karena hatinya terikat dengan Tuhannya setiap detiknya. Perkataannya selalu untuk agamanya. Tindakannya selalu dalam rangka agamanya. Tindakan-tindakannya selalu dalam rangka menebar hidayah. Kebenaran ditegakkannya. Harta diinfaqkannya di jalan Allah. Ia berhijrah dan meninggalkan keluarganya. Umar bin Khatthab mengenakan pakaian yang sobek. Ia berteriak sakit saat mengingat kematian. Lalu ia sangat berhati-hati menjalani agamanya. Ia berlaku adil, jujur dan begitu serius. Ia meminta Allah agar diberikan rizki mati syahid. Allah pun merizqikannya mati syahid, di masjid.
Demi Allah, semut kenyang mendapatkan makanan setelah ia serius mencari makanan. Singa akan berjuang keras, jatuh bangun, untuk menerkam mangsanya. Anak panah takkan pernah bisa mencapai sasarannya bila tetap di dalam sarungnya. Pedang takkan bisa memotong apapun sampai ia menjadi lebih tajam daripada pisau. Burung membangun sendiri tempat tinggalnya. Laba-laba, begitu teliti membangun sarangnya. Kadal menggali lubang-lubang untuk bersembunyi. Rayap membangun rumahnya dengan menggerogoti kayu. Engkau mempunyai kesempatan, Rasulullah bersabda “Peliharalah apa yang berguna bagimu.” Itu karena yang bermanfaat itu akan meninggikanmu. “Seorang mukmin kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Mukmin yang lemah.” Karena kekuatan bisa berguna untuk membangun istana megah, dan meraih kemuliaan dan ketinggian.
Pemilik semangat akan berlomba mendahului orang lain, mencapai ketinggian. “Wassabiquuna saabiquun, ulaaikal muqarrabuun.” Dan orang-orang yang lebih dahulu, merekalah orang-orang yang dekat (kepada Allah). Karena mereka terlatih melakukan keshalihan dan terbukti melakukan ketaatan. Matahari berputar. Bulan berjalan. Sedangkan engkau tidur tidak sadar. Engkau makan dan minum, bermain dan melakukan dosa.
Sebagian muhadditsin buta matanya karena terlalu banyak membaca. Tak ada lelah, tak ada kebosanan, sampai tercapainya tujuan. Imam Ahmad bin Hambal berjalan kaki dari Baghdad ke Shan’a. Tapi engkau sudah lelah ketika menghafal do’a. Salah seorang ulama shalih menempuh perjalanan selama satu bulan hanya untuk memperoleh satu hadits. Agar ia tahu bagaimana kemuliaan yang abadi itu. Andai bukan karena berat dan dahsyatnya ujian, tidaklah Imam Ahmad disebut Imam as Sunnah. Kekasaran bisa membawa pada kemuliaan. Ibnu Taimiyah dipenjara, lalu ia menjadi tokoh ulama yang langka di zamannya. Ketahuilah bahwa air yang mengenang dan diam itu air yang rusak. Karena ia tidak mengalir, tidak berjalan dan tidak mempunyai tantangan. Jika air sudah mengalir, ia akan memberikan manfaat untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup.
Letakkan kakimu di bintang yang tinggi,
Miliki semangat paling tinggi di bintang tertinggi.
Wahai orang yang banyak tidur, apa manfaat tidurmu? Kelak engkau akan membayar mahal karena tidurmu. Allah memerintahkan kita untuk beramal, dan memperhatikan apa yang sudah kita kerjakan. Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Dan orang-orang yang berjihad dijalan Kami, akan kutunjukkan mereka jalan-jalan Kami.” Ketahuilah, hidup ini adalah aqidah dan jihad, kesabaran dan kekasaran, perjuangan dan pegorbanan, kebaktian dan kemenangan. Tak ada tempat dalam hidup ini bagi orang-orang yang malas. Tak ada ruang di kendaraan dunia bagi orang yang lemah.
Lihatlah orang kafir yang begitu tekun bekerja. Setiap hari mereka berusaha keras. Mereka membuat mobil di atas bumi. Mereka menemukan pesawat terbang untuk terbang ke langit. Mereka membuat kulkas untuk makananmu. Mereka membuat tempat untuk menyimpan airmu. Sementara engkau tidak bekerja apa-apa, kecuali makan dan minum, bersenda gurau dan bermain.
Engkau cepat bosan, dan Malaikat tidak pernah bosan. Engkau cepat putus asa dalam beramal sedangkan Malaikat tidak pernah putus asa. Lalu dengan apa engkau akan masuk syurga? Apakah engkau tertikam senjata dijalan Allah? Apakah engkau tersiksa karena mendunkung sunnah? Bersihkanlah debu-debu malas dari dirimu wahai orang malas. Bilal sang pemilik semangat tinggi itu telah mengumandangkan adzan di telingamu, apakah engkau mendengarnya? Orang yang menyeru kebaikan telah memanggilmu, mengapa engkau tidak bersegera memenuhi panggilannya?
Mulailah berburu pahala sejak pagi hari. Bacalah Al-Qur’an dan berdzikirlah. Bacalah do’a dan bersyukurlah. Karena pagi hari adalah saat bertolaknya burung-burung dari sarangnya. Dan jangan lupa, sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, “Keberkahan Allah untuk ummatku ada pada pagi harinya”.
Senin, 11 Januari 2010
Perempuan Di Hati Said Nursi
"Wanita...kerananya lelaki menerobos tembok besi, gagah menjulang risalah Nabi.... Wanita...kerananya lelaki terjerumus ke lembah kibir firauni, melapah manusiawi..."
Said Nursi pernah menceritakan, betapa pentingnya seorang perempuan. Hinggakan dikhususkan sebuah risalah di dalam Rasail al-Nur bertajuk "Murshid al-Akhawaat". Penghargaan Nursi terhadap bundanya sangat tinggi. Bunda Nursi bernama Nurriyye.
Nursi menukilkan, segala ilmu dan kelebihan yang dimilikinya adalah berpunca daripada bazrah (benih) yang telah disemai oleh bundanya itu. Tanpa bundanya menyemai benih yang baik sejak kecil, mana mungkin hatinya cenderung untuk berada di lebuh raya yang terus menghala ke akhirat ini. Faktor primernya adalah asuhan dan didikan bundanya yang sungguh tinggi taqwa dan wara'nya. Guru-guru dan masyaikhnya pula bertanggungjawab menyuburkan benih hasil semaian bundanya itu. Tapak kukuh dibina oleh bundanya Nursi sendiri, tidak orang lain.
Semasa Nursi masih kecil, kelebihannya begitu terserlah di kalangan teman sebaya malah yang lebih besar dibanding Nursi. Kelebihan Nursi terserlah dari sudut kecerdasan dalam pelajaran, maupun kekuatan fizikalnya. Gurunya pernah menziarahi keluarga Nursi untuk melihat faktor yang membentuk peribadi unik Nursi ini. Masya Allah...kawan-kawan nak tahu, bila ditanya pada Nurriyye bunda Nursi itu, apakah rahasia di sebalik kelebihan anak-anaknya itu? Nurriyye penuh tawadhuk menjelaskan, "saya tidak meninggalkan sholat malam sejak dahulu, kecuali ketika uzur syar'ie...dan saya tidak akan menyusukan anak-anak tanpa ada wudhuk"
Tahulah gurunya...tidak mustahil ibu seperti ini, akan melahirkan anak seperti Nursi. Ketaqwaan dan kewara'an ayahanda Nursi juga tidak terkecuali. Ayahandanya yang dikenali sebagai Sufi Mirza tidak akan memberi makan keluarganya dari sembarang unsur syubahat. Harta ternakannya dipastikan tidak memakan rumput-rumput milik orang lain, beliau akan mengikat mulut lembu-lembunya sehingga sampai di ladangnya sendiri baru dilepaskan. Ini semata-mata, memastikan hasil susu dan daging yang akan dijamu pada keluarganya tidak tercemar dengan harta orang lain. Masya Allah, Tabarakallah.
Sejak berusia, sembilan tahun, Nursi telah terpisah dari bundanya. Ketika mendengar berita bundanya telah kembali ke rahmatullah, menangislah Nursi yang ketika itu dalam buangan jauh sama sekali dari keluarga dan kampung halaman. Kepergian bundanya diumpamakan seolah hilanglah separuh dari dunianya...Ya Baqi, Anta al-Baqi, Ya Baqi, Anta al-Baqi.. Hasbunallahhu wa ni'mal wakil, ni'mal mawla wa ni'man nasir.
Nursi sangat menghargai makhluk yang bergelar perempuan. Beliau mengingatkan makhluk yang begitu cantik kejadiannya ini supaya tidak sampai menjadi bidadari Jahannam. Lantaran tenggelam dalam arus dunia yang penuh tipu daya. Mempergunakan segala kelebihan kurniaan Allah untuk merusakkan lelaki dan membawa fitnah dahsyat di akhir zaman. Hati-hatilah wahai wanita...
Nursi mempertegaskan, wanita adalah hulubalang atau perwira kepada tajalli sifat Jamal Allah. Wanita adalah hero kepada sifat rahmah, ra'fah, hanan dan syafaqah. Sifat-sifat ini guna untuk mendidik keluarga, suami dan anak-anak. Bukan guna buat merusak lelaki. Bukan pula memburu persamaan hak. Lelaki dan perempuan punya tanggungjawab yang berbeda, sebab itu dikurnia fisiologi dan psikologi yang juga berbeda. Lelaki dan perempuan tidak pernah ada persaingan atau perlumbaan dalam dunia ini, karena tidak akan ada siapa-siapa yang menang. Dua makhluk ini tidak perlu bersaing sama sekali, malah perlu lengkap melengkapkan. Allah menjadikan lelaki dan perempuan adalah untuk saling menyempurnakan. Masing-masing punya tugas dan tanggungjawab. Masing-masing punya taklif.
Petikan:
http://albazrah.blogspot.com/2006/05/perempuan-di-hati-nursi.html
Riwayat Cinta Rasulullah SAW, Sahabat Nabi dan Ulama'
Orang yang lebih tampan dari dirimu, belum pernah mata ini melihatnya
Orang yang lebih sempurna darimu, belum pernah dilahirkan wanita
Engkau diciptakan bersih dari semua cacat dan noda
Seolah kau dicipta, seperti yang kau suka
(Aisyah radiyallahu 'anha)
Inilah syair yang digubah Aisyah untuk suami tercinta, Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam. Aisyah, selalu menghadirkan keceriaan di tengah tugas-tugas berat Rasulullah memikul amanah risalah akhir zaman.
"Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam biasa meletakkan kepala di pangkuanku walaupun aku sedang haidh, kemudian beliau membaca al-Quran." (Riwayat Abdurrazaq)
"Dari Aisyah, sesungguhnya suatu kali Rasulullah memegang erat tangannya sambil berkata, "Seandainya kau mau mengerti...Dahulu Kaabah roboh oleh banjir. Kalau saja bukan karena mereka baru saja lepas dari kemusyrikan, nescaya aku bangun Kaabah di atas dasar-dasar yabg dibangun Ibrahim dan Ismail. Kupasangkan batu itu (hijr Ismail) padanya karena memang bahagian darinya. Aku telah meletakkan di tempat tersebut dua pintu yang aku letakkan dekat tanah. Tetapi kaum-mu mengangkat pintunya agar tak ada yang bisa masuk kecuali yang mereka kehendaki... (Riwayat Ibnu Asakir)
Pada Nailah, Kita Belajar Ketulusan
Tamadhar, isteri mulia, Abdurrahman ibn 'Auf berkata kepada Usman ibn Affan Radiyallahu 'anhu, "Bersediakah engkau menikah dengan puteri pamanku, seorang gadis yang cantik, tubuhnya padat, pipinya lembut dan fikirannya cerdik?"
"Insya Allah", jawab Usman, "Siapakah dia?"
"Nailah binti al-Farafishah al-Kalbiyah"
Sesudah menikah, Usman bertanya pada Nailah, "Pastinya kau tidak suka melihat ketuaanku ini?"
Nailah tersenyum dan menunduk sambil berkata, "Saya termasuk wanita yang lebih suka memiliki suami lebih tua."
"Tapi aku telah jauh melampaui ketuaanku?"
Kembali Nailah tersenyum dan berkata, "Tapi masa mudamu sudah kau habiskan bersama Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam. Dan itu jauh lebih aku sukai dari segala-galanya."
Waktu berlalu, hari berganti dan bulan terus berjalan, Nailah yang telah melahirkan Maryam dan Anbasah binti Usman dari pernikahan ini tetap setia mendampingi suami tercinta. Hingga ketika hari itu tiba, saat pasukan pembangkang mengepung rumah Usman, lalu mereka menerobos masuk dan mendapati beliau sedang tilawah. Tanpa menggubrisnya mereka mengayunkan pedang-pedang terlaknat ke tubuh tua beliau. Nailah, sang bidadari, segera menjatuhkan tubuh ke pangkuan Usman untuk melindunginya. Dan, ya.., jari-jari tangan perempuan tulus itu putus.
Ketika akhirnya Usman wafat dalam kemuliaan, Muawiyah ibn Abu Sufyan mengirim utusan untuk meminang Nailah. Tapi apa jawaban Nailah? "Tidak mungkin ada seorang manusia pun yang bisa menggantikan kedudukan Usman di dalam hatiku."
Apakah faktor usia memang tidak akan menjadi masalah dalam pernikahan? Tergantung, jawabnya ada pada masing-masing kita. Di kisah ini, Usman berusia 81 sedang Nailah 18. Ternyata Nailah membuktikan ketulusan cintanya.
Jangan difikir hanya lelakinya yang selalu lebih tua. Zaid ibn Haritsah, semula adalah putera angkat Rasulullah, menikah dengan Ummu Aiman yang merupakan pengasuh Rasulullah saat beliau bayai. Nah? Apa motivasinya hingga Zaid begitu bangga menikahi Ummu Aiman? Tentu kalimat Rasulullah yang berbunyi, "Barangsiapa ingin menikahi wanita ahli syurga, maka nikahilah Ummu Aiman!"
Jus Mangga Tilmisani: Kenangan, Kesetiaan
Pada suatu Ramadhan, Ustaz Umar At-Tilmisani diundang untuk menghadiri pertemuan di Iskandariah. Para pengundang menyiapkan hidangan berbuka puasa untuk beliau, Di antara hidangan tersebut terdapat jus mangga. Salah seorang ikhwan menyuguhkan segelas jus mangga kepada beliau. Beliau meminta maaf sambil mengatakan bahawa beliau tidak dapat menerima dan meminumnya.
Sebahagian hadirin memperhatikan adanya perubahan pada air muka beliau. Mereka pun bertanya, "Apakah ustaz alergi pada jus mangga. Ataukaj jus mangga bisa menganggu kesihatan ustaz?"
"Tidak..". jawab beliau.
Setelah berbuka, hadirin begitu penasaran mengapa beliau tidak mahu memnum jus mangganya. Mereka terus mendesak beliau untuk menjelaskannya.
"Apabila saya terlambat pulang kerja", kata beliau, "Al-Marhumah isteri saya selalu menunggu dengan sabar sembari menyiapkan dua gelas jus mangga. Kemudian kami berdua meminumnya bersama-sama. Sekarang, isteri saya sudah wafat. Saya tetap merasa berat untuk meminum jus mangga sendirian. Sya tak bisa meminumnya tanpa dia."
"Saya", lanjut beliau, "Selalu memohon kepada Allah agar Ia mempertemukan kami berdua di syurga. Lalu, kami dapat bersama-sama menikmati minuman syurga. Lalu, kami dapat bersama-sama menikmati minuman syurga.."
Subhanallah!
Petikan:
Agar Bidadari Cemburu Padamu karya Salim A. Fillah
Kerana Ilmu Mereka Rela Membujang
(Ibnu Jauzi)
"Dianjurkan bagi seorang penuntut ilmu untuk membujang sebisa mungkin, agar dalam mencari ilmu ia tidak disibukkan dengan hak-hak keluarga yang harus ia penuhi dan disibukkan dengan mencari penghidupan."
(Khatib al-Baghdadi)
Memilih hidup membujang kerana ingin berkonsentrasi menggeluti ilmu merupakan sebuah pilihan hidup yang luar biasa. Desah-desah syahwat yang pada sebahagian orang justeru menjadi raja yang menguasai hati, berhasil terpinggirkan kerana dominasi cinta terhadap ilmu yang begitu menggumpal dalam relung-relung hati. Itulah sebuah catatan indah yang pernah tergoreskan dalam sejarah hidup sebahagian para ulama sebagai pewaris para nabi. Imam Nawawi, Ibnu Taimiyah dan Imam At-Tabari termasuk sebahagian ulama yang ‘berijtihad’ terhadap diri mereka sendiri untuk tidak menikah kerana ilmu. Dan sekali lagi, ini merupakan sebuah pilihan hidup yang luar biasa!
Pilihan mereka untuk hidup membujang daripada menikah, dengan keilmuan, kesolehan, kejantanan dan kenormalan mereka, tak lain kerana mereka lebih mendahulukan orang lain daripada diri mereka sendiri. Agar mereka dapat mencurahkan segenap kemampuan mereka guna berkhidmat untuk din dan ilmu. Agar mereka dapat mengerahkan segenap usahanya untuk menjabarkan syariat yang mulia ini, menyusunnya serta menyajikannya kepada banyak orang. Tak diragukan lagi bahawa sikap itsar (mendahulukan orang lain daripada diri sendiri) ini disyariatkan dalam Islam dan terpuji bagi pelakunya. Betapa banyak mereka memiliki anugerah dan keutamaan di pundak para ulama dan manusia.
Yusuf al-Qawwas menuturkan, "Aku mendengar Abu Bakar An-Naisaburi berkata, 'Tahukah kamu orang yang bermukim selama 40 tahun, tak pernah tidur di malam hari, makan sehari hanya dengan 5 biji kurma dan solat subuh dengan wuduk solat Isyak?' Ia melanjutkan, 'Itulah aku. Itu sebelum aku mengenal Ummu Abdurrahman...' "
"Ilmu mula menghilang di paha-paha wanita."
(Bisyr Al-Hafi)
"Barangsiapa yang terbiasa dengan paha-paha wanita, ia tak akan mendapatkan apa-apa."
(Ibrahim bin Adam)
Bila menikah dapat menahan pandangan dan menjaga kemaluan, maka Allah telah memuliakan mereka dengan pakaian ketaqwaan, kesolehan dan kezuhudan. Allah memberikan perhiasan kepada meeka dengan perhiasan ilmu dan amal. Kebaikan mereka tersebut telah mengarahkan kepada semua itu, berkat kurnia dan rahmatNya.
Bila bersanding dengan isteri dapat memberikan kenyamanan pada diri sang suami, maka mereka memandang bahawa berdampingan dengan kitab dan ilmu dapat memberikan kenyamanan seperti itu pula atau bahkan lebih dari itu. Sehingga sebahagian dari mereka ada yang mengungkapkan:
Sebuah kitab yang kutelaah yang dapat memberikan kenyamanan
Itu lebih aku sukai daripada keberadaan seorang isteri
Aku mempelajarinya sehingga memperlihatkan kepadaku
Orang-orang yang hidup berabad-abad dan yang paling agung adalah yang mengajarkannya
Dipetik dari:
Karena Ilmu Mereka Rela Membujang karya Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah
Ayat Kursi = Memahami Keagungan Kursi Allah
Ayat di atas yang masyhur dengan nama ayat kursi terdapat di dalam surah Al-Baqarah ayat 255. Penamaan ayat ini bukan ijtihad para ulama, tetapi Rasulullah sendiri yang menamakannya. Tersebut dalam salah satu riwayat bahwa ketika Rasulullah saw ditanya oleh salah seorang sahabatnya tentang “ayat apa yang paling agung dari kitabullah?” Beliau menjawab, “Ayat Kursi”, kemudian Rasulullah membaca ayat ini. (Hadits riwayat Imam Ahmad dan Nasa’i). Dan memang, kata ”kursi” sendiri terdapat di dalam ayat ini yang menjadi salah satu argumen penamaan ayat ini seperti juga penamaan surah-surah Al-Qur’an yang lain.
Ayat kursi sangat kental dengan nuansa akidah, terutama akidah kepada Allah swt, yaitu akidah akan sifat-sifat Allah yang berbeda dengan sifat seluruh makhlukNya. Kejelasan akan sifat-sifat Allah sangatlah penting untuk menghindari dominasi khurafat, mitos dan syubhat yang kerap kali menutupi hati dan pandangan manusia. Justru Islam datang untuk menyelamatkan dan membersihkan hati manusia dari timbunan kotoran yang demikian berat, serta dari kesesatan dan kebingungan dalam kegelapan. Sehingga secara korelatif dijelaskan pada ayat setelahnya: ”Tidak ada paksaan dalam beragama”, bahwa akidah yang dibawa oleh Islam adalah akidah yang berdasarkan kerelaan hati setelah mendapat keterangan dan penjelasan yang terang benderang, bukan berdasarkan pemaksaan dan tekanan.
Menurut Ibnu Athiyah, yang dimaksud dengan kursi, berdasarkan hadits-hadits Rasulullah saw, adalah makhluk Allah yang agung yang berada di antara Arsy Allah swt, sedangkan Arsy Allah tentunya lebih besar berbanding kursiNya. Perbandingan antara keduanya seperti yang dituturkan oleh Rasulullah dalam sebuah hadits riwayat Abu Dzar, “Bukanlah kursi Allah yang berada di Arsy Allah itu melainkan hanya seperti sebuah lingkaran besi yang dilemparkan di salah satu penjuru bumi”.
Penyebutan kata “kursi” yang secara fisik inderawi bisa digambarkan layaknya kursi tempat duduk manusia, begitu juga ungkapan ”dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya” sememangnya menurut Sayyid Qutb adalah untuk memudahkan manusia memahami dan menggambarkan keagungan dan luasnya kekuasaan Allah yang meliputi langit dan bumi, “Luasnya Kursi Allah meliputi langit dan bumi”. Ungkapan dalam kalimat deskripsi inderawi seperti ini akan memberikan kesan yang kuat dan mendalam serta mantap di dalam hati mengenai hakikat yang dimaksud.
Berdasarkan analisa bahasa yang dikemukakan oleh Az-Zamakhsyari bahwa penyebutan sifat-sifat Allah yang terkandung dalam ayat kursi ternyata tidak menggunakan kata penghubung (wau athaf) yang biasa digunakan dalam susunan kalimat bahasa Arab untuk menghubungkan antara satu kata dengan kata lainnya. Redaksi yang demikian ini menunjukkan kekuatan bayan (penjelasan) pada seluruh sifat-sifat Allah swt yang tersebut dalam ayat ini. Paling tidak terdapat empat penjelasan tentang sifat-sifat Allah dalam ayat kursi, yaitu: pertama, penjelasan akan keesaan Allah dalam mengatur seluruh makhlukNya. Kedua, penjelasan bahwa Allah adalah Raja atas seluruh makhluk yang diaturNya. Ketiga, penjelasan akan luasnya ilmu Allah yang mencakup seluruh makhlukNya, sampai kepada mereka yang diridhoi dan berhak mendapat syafa’atNya dengan mereka yang tidak berhak mendapatkannya. Dan keempat, penjelasan tentang pengetahuan Allah akan seluruh maklumat yang tersebar di langit dan bumi.
Wajar jika Ibnu Katsir menyimpulkan bahwa ayat kursi merupakan ayat yang paling agung dalam Al-Qur’an (A’dlomu ayatin fil Qur’an) dan memiliki kedudukan dan keutamaan yang banyak. Di antara keutamaan ayat kursi seperti yang ditegaskan dalam beberapa hadits Rasulullah diantaranya: pertama, ayat kursi merupakan pelindung dan benteng dari godaan syetan. Kedua, nilai ayat kursi setara dan sebanding dengan seperempat Al-Qur’an.
Sebuah kisah yang diutarakan oleh ayah Abdullah bin Ubay bin Ka’ab menjadi bukti nyata akan keampuhan ayat kursi sebagai pelindung. Ia menceritakan bahwa pada suatu malam ketika melihat-lihat kebun kurma miliknya, tiba-tiba ia terserempak dengan seekor hewan yang mirip dengan seorang anak yang baru menginjak usia baligh. Maka ayah Abdullah bin Ubay bin Ka’ab mengucapkan salam yang langsung dijawab oleh anak itu. Kemudian dengan nada penasaran ia bertanya, “Siapakah kamu? Apakah kamu dari golongan jin atau manusia?”. Dengan singkat anak itu menjawab, “Dari golongan jin”. Akhirnya ia meminta jin itu untuk mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Ternyata ketika disentuh, tangannya seperti tangan anjing dan juga bulunya. Maka aku bertanya, “Apakah demikian jin diciptakan?”. Jin itu menjawab, “Bahkan ada yang lebih hebat dari ini”. “Apakah yang mengundang kamu datang kemari?”. Ayah Abdullah bin Ubay kembali bertanya. “Telah sampai berita kepadaku bahwa engkau adalah seorang yang sangat dermawan. Aku ingin mendapatkan sedekahmu”. “Jika memang demikian, aku ingin bertanya, apa yang dapat melindungi kami dari godaanmu?”. Pinta Abdullah bin Ubay. Dengan tegas, jin itu menjawab, “Ayat kursi”. Keesokan harinya, Ayah Abdullah bin Ubay menceritakan kepada Rasulullah apa yang dialaminya tadi malam. Maka Rasulullah bersabda, “Apa yang dikatakan oleh jin itu benar, tetapi dia tetap makhluk yang kotor”. (Diriwayatkan oleh Al-Hakim).
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dijelaskan kedudukan ayat kursi yang senilai dengan seperempat Al-Qur’an. Anas bin Malik menceritakan bahwa Rasulullah saw pernah bertanya kepada salah seorang sahabatnya, “Wahai fulan, sudahkan kamu menikah?”. Sahabat itu menjawab, “Saya tidak memiliki apapun untuk menikah”. Rasulullah bertanya kembali, “Bukankah bersama engkau (hafal) Al-Ikhlash?”. Ia menjawab, “Benar wahai Rasulullah”. Rasulullah menjelaskan, “Ia sebanding dengan seperempat Al-Qur’an”. Rasulullah terus bertanya pertanyaan yang sama sampai terakhir Rasulullah bertanya, “Bukankah bersama engkau (hafal) ayat kursi?”. Ia menjawab, “Benar ya Rasulullah”. Maka Rasulullah bersabda, “Ia senilai dengan seperempat Al-Qur’an”.
Keagungan ayat kursi semakin jelas karena ayat ini secara terperinci mengandungi penjelasan akan sifat-sifat dzat Allah swt; dari sifat Wahdaniyah yang dinyatakan oleh Allahu La Ilaha Illah Huwa”, Sifat Maha Hidup yang berkekalan (Al-Hayyu), sifat Maha Kuasa dan berdiri sendiri (Al-Qayyum), bahkan sifat Qayyum Allah diperkuat dengan penafian akan segala yang mengarah kepada kelemahan, seperti “Tidak mengantuk dan tidak tidur”. Begitu juga dengan sifat memiliki yang berkuasa untuk melakukan apa saja terhadap makhluk yang dimilikiNya. Sifat iradah (berkehendak) yang ditunjukkan oleh kalimat “mandzalladzi yasyfa’u…”, dan iradah Allah di sini adalah pada urusan yang paling besar, yaitu syafa’at yang tidak dimiliki oleh siapapun kecuali atas izin Allah swt. Juga sifat “Ilm yang dinyatakan oleh “ya’lamu ma baina…..”. Terakhir sifat-sifat dzatiyyah Allah ditutup dengan sifat yang menunjukkan ketinggian dan keagunganNya, “Wahuwal Aliyyul Adzim”. Ibnu Abbas menuturkan, “Yang sempurna dalam ketinggian dan keagunganNya”.
Inilah sifat penutup bagi ayat kursi untuk menetapkan ke-Esa-an Allah pada kebesaran dan ketinggianNya. Alif Lam Ma’rifah yang digunakan dalam kedua sifat terakhir ”Al-Aliyyu Al-Adzimu” sesungguhnya untuk membatasi sifat itu hanya milik Allah Yang Maha Suci, tanpa ada yang bersekutu denganNya. Bahkan tidak ada seorang hamba pun yang berusaha mencapai posisi kebesaran dan ketinggian seperti ini melainkan Allah akan mengembalikannya kepada kehinaan dan kerendahan di akhirat kelak Allah swt berfirman, ”Negeri akhirat itu Kami jadikan bagi orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi..” (Al-Qashash: 83)
Demikianlah ayat kursi hendaknya dijadikan prinsip dan acuan dalam berinteraksi dengan Allah dan dengan seluruh makhlukNya. Hanya Allah Pemilik segala sifat kesempurnaan, sedangkan manusia tidak layak memakai pakaian kebesaran Allah. Keyakinan yang mendalam akan seluruh sifat-sifat Allah akan mampu melahirkan perasaan khauf (takut) akan murka dan azab Allah jika kita melanggar aturanNya. Begitu juga akan mampu melahirkan sifat raja’ (penuh harap) kepada kasih sayang dan rahmat Allah swt.
Oleh: DR. Attabiq Luthfi, MA
Merasa Cukup Dengan Allah Azza wajalla
Jika manusia merasa cukup dengan dunia, maka hendaknya engkau merasa cukup dengan Allah Subhanahu wata’ala. Jika mereka berbangga dengan dunia, maka berbanggalah engkau dengan Allah Subhanahu wata’ala. Jika mereka merasa tenang dengan orang-orang yang mereka cintai, maka jadikanlah ketenanganmu dengan Allah Subhanahu wata’ala. Jika mereka berusaha mengenal dan mendekati raja-raja dan para pembesar mereka untuk meraih kemuliaan dan derajat yang tinggi, maka usahakanlah mengenal dan mencintai Allah Subhanahu wata’ala niscaya engkau mendapatkan puncak kemuliaan dan derajat yang tinggi.
Sebagian orang yang zuhud berkata:
“Aku tidak pernah mengetahui ada seorang yang mendengar tentang surga dan neraka kemudian waktu yang dia miliki tidak dia gunakan untuk mentaati Allah Subhanahu wata’ala, berdzikir, sholat, membaca al-Qur’an atau berbuat baik.”
Lalu seorang lelaki berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku banyak menangis.”
Orang zuhud tadi berkata, “Sesungguhnya jika engkau tertawa sedangkan engkau mengakui kesalahanmu, maka hal itu lebih baik dari pada engkau menangis namun engkau mengungkit-ungkit amalanmu. Karena orang yang suka mengungkit amalannya, maka amalannya tidak akan naik melampaui kepalanya.”
Maka lelaki tadi berkata, “Berikanlah aku nasihat.”
Orang zuhud itu berkata, “Tinggalkanlah dunia untuk ahli dunia, sebagaimana mereka meninggalkan akhirat untuk ahli akhirat. Jadilah engkau di dunia ini seperti lebah, jika engkau makan, engkau makan sesuatu yang baik, jika engkau memberi makan, engkau memberi makan sesuatu yang baik dan jika engkau jatuh di suatu tempat, engkau tidak akan merusak dan merobeknya.
[Dari kitab Al Fawaaid Penulis Al Imam Ibnu Qoyyim Al Jauziyyah Rahimahullah, cetakan Daarul ‘Aqiidah halaman 113]
Hilangnya ILmu
((إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ)) فاطر: ٢٨
"Hanyalah yang memiliki khasy-yah (takut) kepada Allah dari kalangan hamba-hamba-Nya adalah para ‘ulama." [Fathir : 28]
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan : Yakni, hanya yang khasy-yah terhadap-Nya dengan sebenarnya adalah para ‘ulama yang mengenal-Nya / berilmu tentang-Nya. Karena setiap kali ma’rifah (pengenalan) terhadap Dzat yang Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Berilmu, yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan dan nama-nama yang indah, bila ma’rifah terhadap-Nya semakian sempurna dan ilmu tentang-Nya makin lengkap, maka makin bertambah besar dan bertambah banyak pula khasy-yah terhadap-Nya."
Asy-Syaikh Al-Mufassir ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menjelaskan dalam Tafsir-nya : "Maka setiap orang yang makin berilmu tentang Allah, maka dia akan semakin besar sifat khasy-yah (takut) terhadap-Nya. Maka sifat khasy-yah tersebut mendorongnya untuk menjauh dari segala kemaksiatan, dan sebaliknya mendorongnya untuk bersiap-siap menyongsong pertemuan dengan Dzat yang ia takut terhadap-Nya. Ini merupakan dalil atas keutamaan ilmu. Sesungguhnya ilmu mengantarkan untuk khasy-yah (takut) terhadap Allah. Seorang yang memiliki sifat khasy-yah terhadap-Nya adalah orang yang berhak mendapat kemuliaan dari-Nya. Sebagaimana firman-Nya : "Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha terhadap-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang khasy-yah (takut) kepada Rabbnya." [Al-Bayyinah : 8]
Sungguh para ‘ulama merupakan pelita bagi umat. Keberadaan mereka sangat penting dalam membimbing dan mengarahkan umat ini ke jalan hidayah, dengan berpedoman kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman para generasi as-salafush shalih. Mereka adalah orang-orang terpercaya, pewaris para Nabi, yang mengemban tugas besar menjaga agama ini dari berbagai penyelewengan dan penyimpangan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
Sungguh kepergian mereka merupakan musibah besar bagi umat ini. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ؛ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا.
"Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan serta merta mencabutnya dari hati manusia. Akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ‘ulama. Kalau Allah tidak lagi menyisakan seorang ‘ulama pun, maka manusia akan menjadikan pimpinan-pimpinan yang bodoh. Kemudian para pimpinan bodoh tersebut akan ditanya dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu. Akhirnya mereka sesat dan menyesatkan. [Al-Bukhari (100, 7307); Muslim (2673)]
Innalillah wa inna ilaihi raji’un. Setelah beberapa waktu lalu, kaum muslimin kehilangan tiga ‘ulama besar -dalam waktu yang tidak begitu lama- yaitu : Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, kemudian Samahatusy Syaikh Al-’Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah, menyusul kemudian Fadhilatusy Syaikh Faqihul ‘Ashr Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah. Sungguh umat ini terpukul berat dan sangat merasa kehilangan atas meninggalnya para ‘ulama tersebut. Karena meninggalnya mereka berarti hilangnya ilmu. Belum hilang kesedihan mereka, tak lama kemudian menyusul meninggal pula ‘Allamatul Yaman Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah. Berikutnya kaum muslimin kembali kehilangan seorang ‘alim besar pada masa ini, wafat pula seorang ‘ulama besar, seorang mujahid pembawa bendera as-sunnah pada masa ini, Asy-Syaikh Al-’Allamah Ahmad Bin Yahya An-Najmi rahimahullah rahmatan wasi’atan, semoga Allah mengampuni dosa-dosa beliau, merahmati beliau, dan meninggikan kedudukan beliau, serta memasukkan beliau ke jannah-Nya. Allahul Musta’an wa ilaihil Musytaka.
INNALILLAH WA INNA ILAIHI RAJI’UN …
((الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ))البقرة: ١٥٦
"(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn" [Al-Baqarah : 156]
((قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ)) التوبة: ٥١
"Katakanlah: ‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal." [At-Taubah : 56]
Maka kita mengatakan seperti yang dikatakan oleh Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam ketika wafatnya putra beliau :
تَدْمَعُ الْعَيْنُ، وَيَحْزَنُ الْقَلْبُ، وَلاَ نَقُولُ إِلاَّ مَا يَرْضَى رَبُّنَا، وَاللهِ يَا إِبْرَاهِيمُ إِنَّا بِكَ لَمَحْزُونُونَ
" AIR MATA BERLINANG,
HATI PUN BERSEDIH,
NAMUN KAMI TIDAK AKAN MENGATAKAN KECUALI APA YANG DIRIDHAI OLEH RABB KAMI
DEMI ALLAH, WAHAI IBRAHIM, KAMI SANGAT BERSEDIH DENGAN (KEPERGIAN)MU "
[HR. Al-Bukhari (1303) Muslim (2315) ]
Ya Allah, … Rahmatilah para ‘ulama ahlus sunnah. Tempatkanlah mereka di jannah-Mu yang tinggi, bersama para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan para shalihin.
Al-Imam ‘Aun bin ‘Abdillah berkata : "Barangsiapa yang meninggal di atas Islam dan Sunnah, sungguh baginya berita gembira dengan segala kebaikan." (Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah (60)).
Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh juga mengatakan : "Sungguh beruntung bagi barangsiapa yang meninggal di atas Islam dan Sunnah."
Al-Imam Ayyub As-Sakhtiyani mengatakan : "Sungguh ketika sampai kepadaku (berita) kematian seorang dari Ahlus Sunnah, maka seakan-akan hilanglah satu anggota tubuhku."
Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata : "Tidak akan datang suatu masa atas kalian melainkan masa yang akan datang tersebut lebih buruk daripada masa sebelumnya hingga datangnya Hari Kiamat. Maksud saya bukanlah kelapangan hidup yang diterimanya atau harta yang didapatnya (lebih sedikit). Akan tetapi maksud saya adalah masa yang akan datang itu lebih sedikit ilmunya daripada masa yang telah berlalu. Apabila ‘ulama telah pergi dan semua manusia merasa sama rata, akibatnya tidak ada lagi yang memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari munkar. Saat itulah mereka binasa."
Diriwayatkan dari jalur Asy-Sya’bi, dari Masruq dari Ibnu Mas’ud, bahwa beliau berkata : "Tidaklah datang suatu masa melainkan pasti lebih buruk daripada masa sebelumnya. Maksud saya bukanlah seorang amir lebih baik daripada amir lainnya, bukan pula suatu tahun lebih baik daripada tahun lainnya. Namun maksud saya adalah perginya para ‘ulama dan ahli fiqh, kemudian kalian tidak menemukan penggantinya. Lalu datanglah suatu kaum yang berfatwa atas dasar logika mereka." [Fathul Bari, syarh hadits no. 7068]
Diriwayatkan dari Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah, beliau berkata : "Para ‘ulama Salaf mengatakan : "Kematian seorang ‘ulama adalah cela dalam tubuh Islam. Tidak mungkin ditambal dengan apapun sepanjang zaman." [Ad-Darimi (324)]
Diriwayatkan dari Hilal bin Khabbab rahimahullah, dia berkata : Saya bertanya kepada Sa’id bin Jubair : "Wahai Abu Abdillah, apakah tanda kehancuran manusia?" Beliau menjawab : "Apabila ‘ulama-’ulama mereka telah wafat." [Ad-Darimi (251)]
Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengingatkan dan menasehatkan :
عليكم بالعلم قبل أن يرفع، ورفعه هلاك العلماء، فوالذي نفسي بيده ليودن رجال قتلوا في سبيل الله شهداء أن يبعثهم الله علماء لما يرون من كرامتهم، وإن أحدا لم يولد عالما، وإنما العلم بالتعلم
"Wajib atas kalian untuk menuntut ilmu, sebelum ilmu tersebut dihilangkan. Hilangnya ilmu adalah dengan wafatnya para ‘ulama. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh orang-orang yang terbunuh di jalan Allah sebagai syuhada, mereka sangat menginginkan agar Allah membangkitkan mereka dengan kedudukan seperti kedudukannya para ‘ulama, karena mereka melihat begitu besarnya kemuliaan para ‘ulama. Sungguh tidak ada seorang pun yang dilahirkan dalam keadaan sudah berilmu. Ilmu itu tidak lain didapat dengan cara belajar." [lihat Al-’Imu Ibnu Qayyim, no. 94].
(Ditulis al akh Al Akh Abu 'Amr Ahmad Alfian)