Beribu nasehat telah diucap, berjuta perintah telah tersirat. Tetapi tetap saja banyak yang gugur ditelan gemerlap dunia. Semua gemerlap akan sirna oleh sosok bidadari yang hidup dengan kesederhanaan.
Kini, banyak kita jumpai orang yang hidup dalam kesempitan, sabar dengan ujian, dan tabah dalam menjalani seraya mendekatkan diri pada Rabb-Nya. Namun, setelah keadaan berubah, sempit menjadi lapang, derita menjadi bahagia, semua kebutuhan hidup terpenuhi; namun banyak yang tidak siap dengan perubahan tersebut. Tidak sadar bahwa gemerlap dunia telah menjebaknya.
"Sesungghnya dunia itu manis dan menawan dan Allah mengangkatmu sebagai khalifah di dalamnya sehingga Allah dapat memperhatikan perbuatanmu. Oleh karena itu waspadalah terhadap dunia, hati-hatilah terhadap wanita karena sesungguhnya fitnah pertama yang menimpa Bani Israil adalah kaum wanita." (HR. Muslim).
Kedudukan, harta senantiasa bersanding dengan wanita. Misalnya di keluarga, kedudukan wanita sangat berpengaruh baik kedudukannya sebagai pendamping suami maupun dalam pemeliharaan harta suami. Seperti kisah rumah tangga Umar Abdul Azis ra dengan Fatimah binti Abdul Malik ra kemewahan berubah menjadi kesederhanaan. Sebelum Umar menerima amanat kekhalifahan, dia terkenal dengan gaya hidup yang serba mewah. Istana megah, pakaian sutra, permata, dan parfum yang seharga satu rumah pun dimilikinya. Semua berubah dengan seketika. Akal pikiran, hati dan perasaannya telah tergugah, karena hakikat pengawasan Allah telah hidup dalam jiwanya.
Dengan gaya hidupnya yang baru, Umar bertekad untuk meniti kehidupan dengan serba sederhana. Dia pun segera mengungkapkan keinginannya pada Fatimah, "Sesungguhnya harta yang kita miliki serta yang dimiliki oleh saudara-saudaramu berasal dari hartanya kaum muslimin. Aku bertekad akan mengembalikannya pada mereka. Dan, jika Adinda tidak sabar pada kesempitan hidup setelah kekuasaan, maka pulanglah ke rumah ayahmu." Mendengar itu Fatimah segera menepis, "Saya tidak akan menyertai Kakanda dalam keadaan senang lantas meninggalkan Kakanda dalam keadaan susah. Saya ridha dengan apa yang Kakanda ridhai."
Kemudian semua hartanya didermakan dan kini yang dimilikinya hanya permata peninggalan ayah Fatimah. Umar pun kembali bertanya, "Wahai Fatimah engkau tahu bahwa dulu permata itu diambil oleh ayahmu dari kaum muslimin dan lantas dia hadiahkan kepadamu. Sesungguhnya aku tidak suka permata itu tinggal dirumahku. Karena itu, pilihlah antara mengembalikan permata itu ke Baitul Maal atau engkau izinkan aku untuk menceraikanmu." Fatimah pun kembali memenuhi permintaan suaminya, "Demi Allah, tentu aku akan memilihmu daripada permata ini, bahkan berlipat-lipat dari yang kumiliki."
Dengan kesederhanaanlah Umar dan Fatimah mulai mengikuti realita kehidupan sebenarnya. Sang khalifah mulai memerdekakan budak, mengembalikan seluruh harta yang dimiliki ke Baitul Maal. Begitu juga dengan Fatimah mulai menanggalkan permata yang dipakainya. Mereka lebih memilih tinggal di rumah yang sangat sederhana. Dengan kata lain, mereka dengan sikap kesederhanaannya berhasil menghancurkan belenggu kemewahan yang mengikat jiwanya dan mematahkan jembatan yang mengantarkan pada fitnah dunia.
Fatimah dalam hal ini bisa disebut sosok bidadari yang turun ke bumi. Sebab ia berani melepaskan semua kemewahan dunia dan lebih memilih hidup sederhana bersama suami yang justru setelah mendapat amanat besar sebagai khalifah. Juga memilih kesederhanaan sebagai jalan hidupnya. Begitu halnya dengan sosok Aisyah ra Ummul Mukminin. Kezuhudan terhadap dunia menjadi teladan bagi umat. Hampir tidak ada harta di tangannya. Dia bagikan seluruh hartanya kepada kaum-kaum miskin. Di antara kedermawanannya adalah membagikan seratus ribu dirham, sementara ia sendiri dalam keadaan shaum. Umar bin Zubair ra juga pernah mengisahkan kedermawanan dan kesederhanaan Aisyah, "Aku pernah melihat Aisyah membagi-bagikan harta sebanyak tujuh ratus ribu dirham sementara dia sendiri menjahit bajunya."
Subhanallah, merenungi kedua kisah di atas betapa mulianya sosok Fatimah dan Aisyah. Ya, dengan kesederhanaannya menjadikan mereka sosok bidadari yang turun ke bumi. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mengikuti jejak Fatimah dan Aisyah? Siapkah kita tanggalkan semua kemewahan dunia hingga kita siap menyandang gelar bidadari?
Dalam buku Tamasya ke Surga, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah mengisahkan tentang bidadari surga. Mereka itu adalah wanita suci yang menyenangkan dipandang mata, menyejukkan dilihat, dan menentramkan hati. Jadi bidadari adalah wanita shalehah yang senantiasa tawadhu, tidak bermewah-mewah dengan keindahan dunia, bersikap sederhana. Seandainya berperan sebagai istri maka ia taat kepada suaminya, menjaga harta suami, mendidik anak-anaknya dan memotivasi agar istiqamah dalam membela agama Allah.
"Tidakkah mau aku kabarkan kepada kalian tentang sesuatu yang paling baik dijadikan bekal seseorang? wanita yang baik (shalihah); jika dilihat suami ia menyenangkan; jika diperintah ia mentaatinya; dan jika suami meninggalkannya ia menjaga diri dan harta suaminya." (Diriwayatkan Abu Daud dan An-Nasai).
Wahai muslimah, kisah di atas mewakili dari sebagian kisah para sahabiyah, begitu juga dengan untaian riwayat yang tersirat. Namun, apalah artinya sebuah kisah bila kita tidak bisa mengambil ibrah. Dan apalah artinya seuntai riwayat jika kita tidak mau belajar darinya. Untuk itu selamat berjuang, siapkan diri menjadi sosok bidadari, sosok yang menapaki kehidupan dengan kezuhudan, dan kesederhanaan.
Kini, banyak kita jumpai orang yang hidup dalam kesempitan, sabar dengan ujian, dan tabah dalam menjalani seraya mendekatkan diri pada Rabb-Nya. Namun, setelah keadaan berubah, sempit menjadi lapang, derita menjadi bahagia, semua kebutuhan hidup terpenuhi; namun banyak yang tidak siap dengan perubahan tersebut. Tidak sadar bahwa gemerlap dunia telah menjebaknya.
"Sesungghnya dunia itu manis dan menawan dan Allah mengangkatmu sebagai khalifah di dalamnya sehingga Allah dapat memperhatikan perbuatanmu. Oleh karena itu waspadalah terhadap dunia, hati-hatilah terhadap wanita karena sesungguhnya fitnah pertama yang menimpa Bani Israil adalah kaum wanita." (HR. Muslim).
Kedudukan, harta senantiasa bersanding dengan wanita. Misalnya di keluarga, kedudukan wanita sangat berpengaruh baik kedudukannya sebagai pendamping suami maupun dalam pemeliharaan harta suami. Seperti kisah rumah tangga Umar Abdul Azis ra dengan Fatimah binti Abdul Malik ra kemewahan berubah menjadi kesederhanaan. Sebelum Umar menerima amanat kekhalifahan, dia terkenal dengan gaya hidup yang serba mewah. Istana megah, pakaian sutra, permata, dan parfum yang seharga satu rumah pun dimilikinya. Semua berubah dengan seketika. Akal pikiran, hati dan perasaannya telah tergugah, karena hakikat pengawasan Allah telah hidup dalam jiwanya.
Dengan gaya hidupnya yang baru, Umar bertekad untuk meniti kehidupan dengan serba sederhana. Dia pun segera mengungkapkan keinginannya pada Fatimah, "Sesungguhnya harta yang kita miliki serta yang dimiliki oleh saudara-saudaramu berasal dari hartanya kaum muslimin. Aku bertekad akan mengembalikannya pada mereka. Dan, jika Adinda tidak sabar pada kesempitan hidup setelah kekuasaan, maka pulanglah ke rumah ayahmu." Mendengar itu Fatimah segera menepis, "Saya tidak akan menyertai Kakanda dalam keadaan senang lantas meninggalkan Kakanda dalam keadaan susah. Saya ridha dengan apa yang Kakanda ridhai."
Kemudian semua hartanya didermakan dan kini yang dimilikinya hanya permata peninggalan ayah Fatimah. Umar pun kembali bertanya, "Wahai Fatimah engkau tahu bahwa dulu permata itu diambil oleh ayahmu dari kaum muslimin dan lantas dia hadiahkan kepadamu. Sesungguhnya aku tidak suka permata itu tinggal dirumahku. Karena itu, pilihlah antara mengembalikan permata itu ke Baitul Maal atau engkau izinkan aku untuk menceraikanmu." Fatimah pun kembali memenuhi permintaan suaminya, "Demi Allah, tentu aku akan memilihmu daripada permata ini, bahkan berlipat-lipat dari yang kumiliki."
Dengan kesederhanaanlah Umar dan Fatimah mulai mengikuti realita kehidupan sebenarnya. Sang khalifah mulai memerdekakan budak, mengembalikan seluruh harta yang dimiliki ke Baitul Maal. Begitu juga dengan Fatimah mulai menanggalkan permata yang dipakainya. Mereka lebih memilih tinggal di rumah yang sangat sederhana. Dengan kata lain, mereka dengan sikap kesederhanaannya berhasil menghancurkan belenggu kemewahan yang mengikat jiwanya dan mematahkan jembatan yang mengantarkan pada fitnah dunia.
Fatimah dalam hal ini bisa disebut sosok bidadari yang turun ke bumi. Sebab ia berani melepaskan semua kemewahan dunia dan lebih memilih hidup sederhana bersama suami yang justru setelah mendapat amanat besar sebagai khalifah. Juga memilih kesederhanaan sebagai jalan hidupnya. Begitu halnya dengan sosok Aisyah ra Ummul Mukminin. Kezuhudan terhadap dunia menjadi teladan bagi umat. Hampir tidak ada harta di tangannya. Dia bagikan seluruh hartanya kepada kaum-kaum miskin. Di antara kedermawanannya adalah membagikan seratus ribu dirham, sementara ia sendiri dalam keadaan shaum. Umar bin Zubair ra juga pernah mengisahkan kedermawanan dan kesederhanaan Aisyah, "Aku pernah melihat Aisyah membagi-bagikan harta sebanyak tujuh ratus ribu dirham sementara dia sendiri menjahit bajunya."
Subhanallah, merenungi kedua kisah di atas betapa mulianya sosok Fatimah dan Aisyah. Ya, dengan kesederhanaannya menjadikan mereka sosok bidadari yang turun ke bumi. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mengikuti jejak Fatimah dan Aisyah? Siapkah kita tanggalkan semua kemewahan dunia hingga kita siap menyandang gelar bidadari?
Dalam buku Tamasya ke Surga, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah mengisahkan tentang bidadari surga. Mereka itu adalah wanita suci yang menyenangkan dipandang mata, menyejukkan dilihat, dan menentramkan hati. Jadi bidadari adalah wanita shalehah yang senantiasa tawadhu, tidak bermewah-mewah dengan keindahan dunia, bersikap sederhana. Seandainya berperan sebagai istri maka ia taat kepada suaminya, menjaga harta suami, mendidik anak-anaknya dan memotivasi agar istiqamah dalam membela agama Allah.
"Tidakkah mau aku kabarkan kepada kalian tentang sesuatu yang paling baik dijadikan bekal seseorang? wanita yang baik (shalihah); jika dilihat suami ia menyenangkan; jika diperintah ia mentaatinya; dan jika suami meninggalkannya ia menjaga diri dan harta suaminya." (Diriwayatkan Abu Daud dan An-Nasai).
Wahai muslimah, kisah di atas mewakili dari sebagian kisah para sahabiyah, begitu juga dengan untaian riwayat yang tersirat. Namun, apalah artinya sebuah kisah bila kita tidak bisa mengambil ibrah. Dan apalah artinya seuntai riwayat jika kita tidak mau belajar darinya. Untuk itu selamat berjuang, siapkan diri menjadi sosok bidadari, sosok yang menapaki kehidupan dengan kezuhudan, dan kesederhanaan.
0 komentar:
Posting Komentar